Pages

Kamis, 22 Desember 2011

Si Udang.


Di kalangan masyarakat Bugis Sulawesi Selatan, Indonesia, beredar sebuah cerita rakyat tentang seorang pemuda bernama I Laurang. I laurang dalam bahasa Bugis terdiri dari tiga suku kata, yaitu I, la dan urang. I berarti si (menunjuk kepada seseorang), la berarti dia laki-laki, dan urang berarti udang. Jadi, I laurang berarti si laki-laki udang atau manusia udang. Dalam cerita itu, I Laurang dikisahkan menjadi rebutan tujuh orang putri raja. Mengapa pemuda itu dinamakan I Laurang dan menjadi rebutan para putri raja? Kisahnya dapat Anda ikuti dalam cerita I Laurang berikut ini.

* * *

Alkisah,  di sebuah daerah di Sulawesi Selatan, Indonesia, ada sepasang suami-istri yang sudah lama menikah, namun belum juga dikaruniai anak. Mereka sangat menginginkan kehadiran seorang anak agar hidup mereka tidak kesepian. Oleh karena itu, setiap malam mereka senantiasa berdoa kepada Tuhan. Namun, hingga berusia paruh baya, mereka belum juga dikaruniai anak. Akhirnya, mereka pun mulai putus asa.

Pada suatu malam, kedua suami-istri itu berdoa kepada Tuhan dengan berkata:

 “Ya Tuhan, karuniakanlah kepada kami seorang anak, walaupun hanya berupa seekor udang!”

Beberapa lama kemudian, sang Istri pun hamil dan melahirkan. Namun, alangkah terkejutnya sang Istri saat melihat bayi yang keluar dari rahimnya adalah seorang bayi laki-laki yang berbentuk dan berkulit udang. Ia dapat hidup di darat maupun dalam air. Oleh  karena itu, ia diberi nama I Laurang (Manusia Udang).

“Bang! Kenapa anak kita seperti udang?” tanya sang Istri heran.

“Adik tidah usah heran. Bukankah kita pernah meminta seorang anak walaupun hanya berupa seekor udang? Rupanya Tuhan mengabulkan doa kita,” jawab sang Suami.

“Iya, Bang! Adik ingat sekarang. Kita memang pernah berdoa seperti itu?” kata sang Istri.

Menyadari hal itu, kedua suami-istri itu merawat I Laurang dengan penuh kasih sayang. Mereka memasukkannya ke dalam sebuah tempayan yang berisi air. Beberapa tahun kemudian, I Laurang pun tumbuh menjadi besar. Oleh karena badannya sudah tidak muat lagi, ia pun dikeluarkan dari tempayan. Sejak saat itu, I Laurang tidak lagi hidup dalam air. Ia hidup layaknya manusia lainnya. Namun, ia tidak dapat berjalan karena kakinya terbungkus oleh kulit udang. Walaupun hanya tinggal di dalam rumah, ia banyak tahu tentang keadaan dan peristiwa-peristiwa di sekitarnya yang didengar dari cerita-cerita ibunya.

Suatu waktu, ibunya bercerita bahwa raja yang memerintah negeri itu memiliki tujuh orang putri yang semuanya cantik jelita. Rupanya sejak mendengar cerita ibunya itu, ia selalu termenung dan membayangkan kecantikan wajah para putri raja. Ia juga selalu berangan-angan ingin menikah dengan salah seorang di antara mereka.

“Alangkah bahagianya aku jika mempunyai istri yang cantik. Tapi, mungkinkah aku dapat menikah dengan putri raja dengan kondisiku seperti ini?” tanya I Laurang dalam hati.

“Ah, aku tidak boleh putus asa dan menyerah sebelum mencoba,” tambahnya dengan penuh semangat.

Keesokan harinya, ia pun memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya itu kepada kedua orang tuanya.

“Ayah, Ibu! Sekarang ananda sudah dewasa. Ananda ingin berumah tangga dan mempunyai keturunan,” ungkap I Laurang.

“Memang kamu mau menikah dengan siapa?” tanya ibunya.

“Ananda ingin menikah dengan putri raja, Bu,” jawab I Laurang.

“Ha, dengan putri raja! Sungguh berat permintaanmu, Nak,” kata ayahnya dengan terkejut.

“Benar, Nak! Mana mungkin raja berkenan menerimamu sebagai menantunya dengan kondisi tubuhmu seperti ini,” tambah ibunya.

“Tapi, apa salahnya kita mencoba dulu, Bu. Bukankah putri raja itu ada tujuh orang dan cantik semua. Siapa tahu di antara mereka ada yang mau menikah denganku,” kata I Laurang mendesak kedua orang tuanya.

Setelah berkali-kali didesak, akhirnya kedua orang tua I Laurang pergi menghadap kepada sang Raja yang terkenal arif dan bijaksana itu untuk menyampaikan pinangan I Laurang.

“Ampun Baginda, jika kami yang miskin ini sudah lancang masuk ke istana yang megah ini. Maksud kedatangan kami adalah ingin menyampaikan pinangan anak kami kepada salah seorang putri Baginda,” jelas ayah I Laurang sambil memberi hormat.

Mendengar penjelasan itu, sang Raja pun tersenyum manggut-manggut sambil mengelus-elus jenggotnya yang sudah mulai memutih.

“Baiklah, kalau begitu! Aku akan menanyakan hal ini kepada tujuh putriku terlebih dahulu. Siapa di antara mereka yang bersedia menerima pinangan I Laurang,” kata Raja.

Setelah itu, Raja memerintahkan kepada Bendaharanya untuk mengumpulkan seluruh putrinya. Tidak berapa lama, ketujuh putri raja sudah berkumpul di ruang sidang. Raja kemudian menanyai satu per satu putrinya mulai dari yang sulung hingga kepada yang paling bungsu tentang pinangan I Laurang.

“Wahai, Putri Sulung! Bersediakah engkau menikah dengan I Laurang?” tanya Raja.

“Maafkan Nanda, Ayah! Nanda tidak mau menikah dengan I Laurang. Masih banyak pangeran dan pemuda tampan yang sepadan dengan Nanda,” kata si Putri Sulung menolak pinangan I Laurang.

Selanjutnya, Raja bertanya kepada putri keduanya. Namun, jawabannya sama dengan jawaban yang diberikan oleh si Putri Sulung. Demikian pula putri-putrinya yang berikutnya, mereka memberikan jawaban penolakan terhadap pinangan I Laurang. Akan tetapi, ketika pertanyaan itu ditujukan kepada si Bungsu, ia pun menjawab:

“Ampun Ayahanda! Jika Ayahanda berkenan, Nanda bersedia menikah dengan I Laurang”.

“Baiklah, Putriku! Ayahanda akan merestui kalian. Pesta pernikahan kalian akan kita langsungkan tiga hari lagi,” kata Raja.

Mendengar jawaban si Putri Bungsu dan restu dari Raja, ayah dan ibu I Laurang sangat gembira. Dengan perasaan suka cita, mereka pun mohon pamit kepada Raja untuk segera menyampaikan berita gembira itu kepada I Laurang. 

“Benarkah Raja menerima pinanganku, Ibu?” tanya I Laurang seakan-akan tidak percaya mendengar berita itu.

“Benar, Anakku! Putri bungsu Raja yang bersedia menikah denganmu,” jawab ibu I Laurang.

Yakin pinangannya diterima, I Laurang langsung keluar dari kulit kepompong udangnya. Alangkah terkejutnya kedua orang tuanya saat melihat wajah anaknya.

“Waaah, ternyata kamu tampan dan gagah, Anakku!” seru ibunya dengan takjub sambil mengamati seluruh tubuh I Laurang dari ujung kaki hingga ke ujung rambut.

“Putri Bungsu pasti akan senang sekali mempunyai suami setampan kamu, Nak,” ujar ayah I Laurang.

Setelah itu, dengan ditemani ibunya, I Laurang pergi mencukur rambutnya yang sangat panjang, karena sejak kecil tidak pernah dipotong. Setiap bertemu warga di jalan, ibu I Laurang selalu ditanya tentang orang yang berjalan bersamanya. 

“Siapa lelaki tampan yang berjalan di sampingmu itu?” tanya salah seorang warga kepada ibu I Laurang.

“Dia anakku, I Laurang, yang akan menikah dengan putri raja,” jawab ibu I Laurang.

Semua orang tercengang ketika mengetahui bahwa lelaki tampan itu adalah I Laurang. Selama ini, mereka mengenal I Laurang berwajah buruk seperti udang.

Saat pesta pernikahan berlangsung, seluruh keluarga istana terkejut melihat ketampanan I Laurang, terutama si Putri Bungsu dan keenam kakaknya. Mereka benar-benar tidak menyangka bahwa ternyata I Laurang seorang pemuda yang tampan. Berbeda dengan berita yang mereka dengar bahwa I Laurang itu buruk rupa seperti udang.

Si Putri Bungsu pun hidup berbahagia bersama I Laurang. Sementara keenam kakaknya iri hati dan dengki kepadanya. Mereka berniat merebut suami adiknya dengan cara mencelakai si Bungsu. Namun, niat jelek mereka diketahui oleh I Laurang. Oleh karena itu, I Laurang selalu menemani si Bungsu ke mana pun pergi, agar tidak diganggu oleh keenam kakaknya.

Pada suatu hari, I Laurang terpaksa harus meninggalkan istrinya, karena mendapat tugas dari aja untuk pergi berdagang ke daerah lain. Sebelum berangkat, I Laurang berpesan kepada istrinya.

“Dinda! Abang akan pergi berdagang ke negeri seberang. Dinda harus berhati-hati terhadap kakak-kakak Dinda. Rupanya mereka iri hati dan ingin mencelakai Dinda. Oleh karena itu, ambil dan bawalah pinang dan telur ini ke manapun Dinda pergi,” ujar I Laurang kepada istrinya.

“Baik, Kanda! Dinda akan selalu mengingat pesan Kanda,” jawab sang Putri Bungsu.

Setelah suami si Putri Bungsu berangkat, keenam kakaknya mengajaknya bermain ayunan di tepi laut. Si Bungsu pun menerima ajakan mereka tanpa ada rasa curiga sedikitpun. Sesampainya di tepi laut, mereka bergiliran diayun. Ketika giliran si Putri Bungsu diayun, mereka beramai-ramai mengayunnya dengan kencang.

“Kak, hentikan! Kepalaku sudah pening dan perutku mual. Hentikan...!!!” teriak si Putri Bungsu dengan ketakutan.

Keenam kakaknya tidak menghiraukan teriakannya. Mereka justru mengayunnya lebih kencang sehingga si Putri Bungsu terlempar ke laut dan tenggelam. Melihat kejadian itu, keenam kakaknya bersorak gembira dengan perasaan puas. Setelah itu, mereka pun pulang ke istana melapor kepada Raja bahwa si Bungsu meninggal dunia karena dimakan ikan saat mandi di tepi laut. Maka tersebarlah berita bahwa istri I Laurang meninggal dunia karena dimakan ikan.

Sementara itu, berkat pertolongan Tuhan, si Putri Bungsu yang tenggelam di laut masih hidup. Ia pun teringat dengan buah pinang dan telur pemberian suaminya. Buah pinang itu ia tanam di dasar laut, sedangkan telurnya ia pecahkan. Lama-kelamaan pecahan telur menjadi besar dan masuklah ia ke dalamnya untuk berlindung.

Beberapa bulan kemudian, buah pinang yang ditanamnya itu tumbuh menjadi pohon besar dan tinggi, sehingga melebihi permukaan air laut. Selang beberapa minggu, si Putri Bungsu menjelma menjadi seekor ayam dan kemudian bertengger di atas pohon pinang. Setiap ada perahu yang lewat, ayam itu selalu berkokok dan bertanya tentang keberadaan suaminya.

“Kuk kuruyuk...!!! Di manakah suamiku I Laurang? Bunga Putih nama perahunya!”

Demikian yang terus dilakukan ayam itu setiap ada perahu lewat.

Pada suatu hari, dari jauh tampaklah sebuah perahu yang akan melewati tempat ayam itu bertengger. Ketika kapal itu sudah dekat, ayam itu berkokok dengan sekeras-kerasnya dan menanyakan keberadaan suaminya.

“Kuk kuruyuk...!!! Di manakah suamiku I Laurang?”

Mendengar teriakan ayam itu, tiba-tiba seorang lelaki tampan keluar dari dalam kapal dan berdiri di anjungan.

“Aku I Laurang,” teriak lelaki tampan itu.

Kapal itu mendekati ayam yang sedang bertengger di atas pohon pinang. Saat kapal itu semakin dekat, ayam itu langsung terbang ke kapal sambil menangis.

“Bang! Ini aku Putri Bungsu, istrimu,” kata ayam itu.

I Laurang pun segera mengelus-ngelus ayam itu sambil mulutnya komat-kamit membaca mantra. Beberapa saat kemudian, atas kuasa Tuhan, ayam itu berubah kembali menjadi si Putri Bungsu. Kedua suami-istri itu berpelukan sambil menangis. Setelah itu, si Putri Bungsu menceritakan semua peristiwa yang dialaminya hingga ia menjelma menjadi seekor ayam.

“Sudahlah, Dinda! Mari kita kembali ke istana. Tentu ayahanda, ibunda, serta keenam kakakmu sudah lama menunggumu,” ujar I Laurang kepada istrinya.

“Tapi, Bang! Bagaimana dengan keenam kakakku? Mereka pasti akan mencari cara lain untuk menyingkirkan Dinda, sehingga mereka bisa menikah dengan Abang,”  kata si Putri Bungsu dengan perasaan cemas.

“Dinda tidak usah khawatir. Abang mempunyai cara agar keenam kakak Dinda itu menjadi jera dan tidak akan mengganggu Dinda lagi,” ujar I Laurang menenangkan istrinya.

“Bagaimana caranya, Bang?” tanya si Putri Bungsu penasaran.

“Dinda bersembunyi di dalam peti itu. Kemudian Abang memberi Dinda jarum besar. Jika ada yang memikul peti itu, maka tusuklah pundaknya,” jelas I Laurang.

“Baik, Bang!” jawab si Putri Bungsu sambil mengangguk-angguk.

Ketika kapal yang mereka tumpangi merapat di pelabuhan, seluruh keluarga istana datang menyambut kedatangan I Laurang, tidak terkecuali keenam kakak si Putri Bungsu. Mereka senang sekali I Laurang telah kembali. Dalam hati mereka bertanya-tanya siapa di antara mereka yang akan dipilih oleh I Laurang untuk menjadi istrinya. Oleh karena itu, mereka selalu berusaha mencari perhatian I Laurang. Ternyata I Laurang pun sudah memahami sikap dan gerak-gerik mereka.

“Barangsiapa di antara kalian yang mampu memikul peti itu sampai ke istana, maka dialah yang akan menjadi istriku,” ujar I Laurang sambil menunjuk peti yang berisi Putri Bungsu.

Mendengar pernyataan I Laurang itu, maka berlomba-lombalah mereka ingin mengangkat peti itu. Giliran pertama jatuh pada putri yang sulung. Dengan sekuat tenaga, ia mengangkat peti itu ke atas pundaknya. Namun, baru beberapa langkah berjalan, ia menghempaskan peti itu, karena tidak kuat menahan rasa sakit akibat terkena tusukan jarum di pundaknya. Putri Sulung gagal menjadi istri I Laurang. Selanjutnya giliran putri kedua yang mengangkat peti itu. Namun, baru beberapa meter berjalan, ia menjatuhkan peti itu, karena tidak mampu menahan rasa sakit di pundaknya. Demikian pula putri ketiga, keempat, kelima dan keenam, gagal memikul peti itu sampai ke istana.

“Oleh karena tidak seorang pun yang berhasil, maka kalian gagal menjadi istriku,” kata I Laurang dengan perasaan puas.

Setelah itu, I Laurang memerintahkan beberapa orang pengawal untuk mengikat peti itu dengan tali, lalu mengangkatnya beramai-ramai ke istana. Sesampainya di istana, I Laurang kemudian menjelaskan apa sebenarnya isi peti itu.

“Pengawal! Buka peti itu!” seru I Laurang kepada salah seorang pengawal.

“Baik, Tuan!” jawab pengawal itu.

Setelah peti terbuka, alangkah terkejutnya keenam putri raja tersebut, karena ternyata isi peti itu adalah si Putri Bungsu yang mereka kira sudah meninggal dunia. Oleh karena tidak kuat menahan rasa malu kepada adiknya dan I Laurang, keenam kakaknya itu berlari berhamburan. Putri Sulung berlari ke arah pintu, putri kedua dan ketiga berlari ke dapur, putri keempat dan kelima berlari keluar dari istana, dan putri keenam berlari ke dekat sumur.

Akhirnya, si Putri Bungsu pun diangkat menjadi Raja untuk menggantikan ayahnya, sedangkan keenam kakaknya menjadi pelayannya. Putri Sulung yang berlari ke arah pintu bertugas membuka dan menutup pintu; putri kedua dan ketiga yang berlari ke dapur bertugas memasak; putri keempat dan kelima yang berlari keluar istana bertugas menumbuk padi di lesung; dan putri keenam yang berlari ke dekat sumur bertugas mencuci.

* * *

Demikian cerita I Laurang dari daerah Sulawesi Selatan, Indonesia. Cerita di atas termasuk dongeng yang mengandung nilai-nilai moral. Salah satu nilai moral yang dapat diambil dari cerita di atas adalah akibat yang ditimbulkan dari sifat iri hati dan dengki. Sifat ini tergambar pada sikap dan perilaku keenam putri raja yang iri hati dan dengki kepada adiknya dan mencoba untuk membunuhnya. Pelajaran yang dapat diambil dari cerita ini adalah bahwa sifat iri hati dan dengki dapat menimbulkan kebencian yang mengarah pada suatu tindakan kekerasan terhadap orang lain dan bahkan terhadap keluarga sendiri.

Dari cerita ini juga dapat diambil sebuah pelajaran bahwa orang-orang yang teraniaya akan selalu dilindungi oleh Tuhan Yang Mahakuasa.  Sebaliknya, orang yang suka iri hati dan dengki akan dibenci oleh Tuhan. Dikatakan dalam ungkapan Melayu:
kalau suka dengki mendengki,
orang muak Tuhan pun benci

Pelajaran lain yang dapat dipetik dari cerita di atas bahwa jika kita berdoa kepada Tuhan, hendaknya lebih berhati-hati. Di samping itu juga, sebaiknya kita harus berlapang dada menerima semua pemberian Tuhan apapun bentuknya, karena terkadang di balik pemberian itu terdapat sebuah hikmah yang bermanfaat yang tidak pernah kita duga sebelumnya.

Asal mula Nama Soppeng


Nama Soppeng berasal dari nama buah-buahan Caloppeng, buah tersebut bundar dan lebih basar dari buah anggur dan mungkin satu spesises dengan anggur. Caloppeng berwarna ungu. Warna ungu adalah warna pakaian kaum ibu yang dipakai pada upacara perkawinan. Sedang warna merah adalah pakaian nak dara-dara dan ibu muda sehingga ungu (kamummu) dan merah (eja) istilah bahasa sindirannya untuk kaum ibu perempuan dewasa dan anak dara atau ibu muda.
Makana warna ungu pakaian para ibu-ibu bijaksna yang dinamakan kamummu’E ibu Wanua (ibu pertiwi). Warna ungu pada buah Caloppeng mengkilap seperti kaca halusnya dan enak dilihat (bercahaya), hitam manis. Makan bundara (melingkar) berarti Lambang persatuan seluruh negeri, bersatu dalam satu pimpinan dari satu orang yang di tuakan namanya Matoa. Tanah air disebut kamummu’E Lambang dari pakaian ibu-ibu bijalsana. Tanah air laksana ibu-ibu yang arif dan bijaksana yang mamberikan kesejayraan dari kesuburuannya keluar bermacam-macam tanaman unutk keperluan hidup manusia.

Pasangan tanah air yang subur dari pemimpin masyarakat dari orang tua yang bijaksana. bahasa Bugis yang baru lahir dari akr kata asli (benda) yang diubah hurufnya atau sukukatanya sehingga arti dan maknanya berbeda  dengan benda aslinya.  Buah Ca. c berubah menjadi loppeng dihilangkan (lo)vmenjadi coppeng. Dari kata coppeng berubah sebutan sebagai pengaruh ucapan lidah  menjadi lapaz soppeng. C berubah menjadi S   Contoh Baco dan Becce menjadi Baso dan Besse. Denganberubah satu huruf melahirkan bahasa baru yang berbeda artinya atau statusnya.
Soppeng berasal dari nama buah-buahan : Caloppeng menjadi Soppeng.
Negeri Bila dalah negeri negeri yang dibagun oleh Matoa Bila  diantaranya Matoa Bila yang dinamakan penulis sejarah primus inter peres, juga bersal dari nama buah-buahan bila. Bila ada dua macam bila tempat air dan buah bila yang manis bentuknya seperti bola tennis (dimakan). Buah Bila tempat air tidak dimakan isinya tetapai dijadikan orang (petani)  sebagai obat ketika kakinya kene kutu air waktu mengolah sawah. Isi buah Bila disapukan pada kaki yang kudisan bengkak sampai sembuh. Buah bila dijadikan temoat air  untuk membawa air keman-mana. Orang yang rajin bekerja biasanya  membawa dua buah bila yang berisi air. Satu bila dipakai untuk diminum dan satunya dipakai waktu buang air. Betapa pentingnya peranan  air bagi kehidupan  manusia. Itulah isinya Bila. Buah Bila bentuknya bu bundar atau  bulat perLambang  selurunh penduduk negeri diharuskan bersatu   bulat tidak lonjonng tidak pecah.

Awal mula Kabupaten Wajo "Sengkang"


 Pada suatu hari, ada seorang arung perempuan mengidap penyakit kulit di Luwu. Arung yang mengidap penyakit kulit itu  adalah anak seuwai bapak ibunya.  Naanak pattolai di tambahkan di Luwu.   Ibu bapaknya sakit karena  karana anaknya pengidap penyakit kulit.  Sudah ada dukun dan ulam yang mengobatinya, boleh dikata penyakit arung perempuan itu  sudah agak mendingan.  Biar bauhnya tidak ada orang  yang bisa tahan , karena  bauhnya tidak sedap.
  Adapt serta pabbanuanna Luwu sadah bersatu., karena  takut ketularan penyakit seperti itu.  Mau  di bunuh tapi tidak bisa juga karene merupakan   anak  toriabusungi namaqdara takku.   Karena itulah orang di Luwu  gelisah.
 Ketika ia sampai di depan Mapajunge.  Mapajung berbijara , apa yang engkau inginkan. Kebiasaan orang Luwu atau  orang banyak.
 Semua orang terkenal; di  Luwu berkata, “  tidak ada bedanya puang  di sengaja makan didepan puammeng,  yang ia hindarkan karena takut ketularan  penyakit anak   toripopuammeng. Yang sama-sama  di lakukan yaitu iya berkata, tidak tau mana yang disuka orang Mapajunge itello seuwae atau itello maegae.  Apabila mapajunge ingin tello I seuwae, atanna  Mapajunge ingin bersembunyi dapur. Tapi apabila Mapajunge ingin  itello maegae, mungkin lebih bagusnya  di jauhkan  anak toripopuammeng yang mengidap penyakit kulit itu.

Mengapa kelelawar Menggantung (Soppeng)

Pada saman dahulu kala sesama binatang masih dapat berbicara seperti manusia, kehidupan dan pergaulan mereka tidak berbeda dengan manusia. Mereka mempunyai raja dan undang undang dan hidup dengan penuh tata tertib apabila terjadi suatu pekara atau perselisihan merekapun diadili untuk menentukan siapa yang salah dan siapa yang benar yang salah akan mendapat ganjaran yang setimpal yang benar akan dibebaskan dari hukuman sehingga tidak ada yang berani bertindak sewenang wenang.
Harimau dianggap sebagai raja sedangkan sang kancil karena dianggap cakap dan cerdik binatang dan burung burung yang lain pun memopunyai tugas masing masing
 Pada suatu hari ada laporan yang sampai pada sang raja bahwa buahbuahan yang amsak di kebun seorang petani harus dicuri menurt saksi mata yang kelihatan banyak beterbangan di kebun pada saat itu adalah kelelawar mereka nyata sekali kelihatan karena badannya hitam pada siang bolong. Raja pun memerintahkan agar pemimpin kelelawar datang menghadap raja untuk dimintai keterangan tentang pencurian buah-buahan di kebun seorang petani.

Keesoka harinya kelompok kkelelawar datang ke rumah raja maka raja pun meminta pada sang kancil agar mennyusut tuntas perkara tersebut sang kancil pun memerintahkan kepada seekor kelelawar untuk memperagakan cara mengambil dam makan buah di kebun pak tani, maka seekor di antaranya tampil sambil bergantung dengan posisi kepala ke bawah dia mengambil buah yang masak lalu dimakan nya berdasarkan kenyataan itulah maka hakim memutuskan bahwa mulai saat itu semua kelelawar apabila kelelawar singgah di suatu tempat ia  harus bergantung dengan sikap kepala ke bawah dan itulah yang dipatuhinya sampai sekarang ini lagi pula adanya ancaman dari sang raja bahwa jika ada di aantara mereka ketahuan tidak mematuhi keputusan itu maka raja akan mengambil tindakan yang lebih keras namun hukuman itu dirasakn sangat sulit oleh kelompok kelelawar karena mereka sudah tidak dapat mengubah kebiasaannya untuk memakan buah yang sudah masak karena tiu mereka sepakat untuk mencari makan pada malam hari.